Soedirman
Jenderal Besar Raden Soedirman (EYD: Sudirman; lahir 24 Januari 1916 – meninggal 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun[a]) adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Menjadi panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia secara luas terus dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala staff. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian Renville –yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Di saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman. Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-kilometre (62 mil) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
Raden Soedirman |
|
---|---|
Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat ke-1 | |
Masa jabatan 12 November 1945 – 29 Januari 1950 |
|
Presiden | Soekarno |
Digantikan oleh | Soeharto |
Informasi pribadi | |
Lahir | 24 Januari 1916[a] Purbalingga, Hindia Belanda |
Meninggal | 29 Januari 1950 (umur 34) Magelang, Indonesia |
Dimakamkan | Taman Makam Pahlawan Semaki 7°48′9.88″S 110°23′2.11″EKoordinat: 7°48′9.88″S 110°23′2.11″E |
Agama | Islam |
Tanda tangan | |
Dinas militer | |
Pengabdian |
|
Dinas/cabang | TNI Angkatan Darat |
Masa dinas | 1944–1950 |
Pangkat |
|
Komando | |
Perang | Revolusi Nasional Indonesia |
Penghargaan | Pahlawan Nasional Indonesia |
Kehidupan awal
Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan
Siyem saat
pasangan ini tinggal di rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem di Rembang, Bodas Karangjati, Purbalingga, Hindia Belanda. Tarsem sendiri bersuamikan seorang camat bernama Raden Cokrosunaryo.Menurut catatan keluarga, Soedirman –dinamai oleh pamannya –lahir pada Minggu pon di bulan Maulud dalam penanggalan Jawa;
pemerintah Indonesia kemudian menetapkan 24 Januari 1916 sebagai hari
ulang tahun Soedirman. Karena kondisi keuangan Cokrosunaryo yang lebih
baik, ia mengadopsi Soedirman dan memberinya gelar Raden, gelar
kebangsawanan pada suku Jawa. Soedirman tidak diberitahu bahwa Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai ia berusia 18 tahun. Setelah Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut dengan keluarganya ke Manggisan, Cilacap. Di tempat inilah ia tumbuh besar
Di Cilacap, Karsid dan Siyem memiliki seorang putra lain bernama
Muhammad Samingan. Karsid meninggal dunia saat Soedirman berusia enam
tahun, dan Siyem menitipkan kedua putranya pada saudara iparnya dan
kembali ke kampung halamannya di Parakan Onje, Ajibarang.
Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata krama priyayi, serta etos kerja dan kesederhanaan wong cilik, atau rakyat jelata. Untuk pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di bawah bimbingan Kyai Haji Qahar; Soedirman adalah anak yang taat agama dan selalu shalat tepat waktu. Ia dipercaya untuk mengumandangkan adzan dan iqamat.Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di sekolah pribumi (hollandsch inlandsche school).
Meskipun hidup berkecukupan, keluarga Soedirman bukanlah keluarga kaya.
Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak mengumpulkan banyak
kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin jahit Singer.
Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk berhenti
sekolah sehubungan dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik
pemerintah; permintaan ini awalnya ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa pada tahun ketujuh sekolah. Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena diketahui tidak terdaftar. Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah nasionalis Indonesia, yang turut mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda.
Soedirman belajar dengan tekun di sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono
menyatakan bahwa Soedirman sudah mempelajari pelajaran tingkat dua di
saat kelas masih mempelajari pelajaran tingkat satu. Meskipun lemah
dalam pelajaran kaligrafi Jawa, Soedirman sangat pintar dalam pelajaran matematika, ilmu alam, dan menulis, baik bahasa Belanda maupun Indonesia.
Soedirman juga menjadi semakin taat agama di bawah bimbingan gurunya,
Raden Muhammad Kholil. Teman-teman sekelasnya memanggilnya "haji" karena
ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman juga memberikan ceramah
agama kepada siswa lain. Selain belajar dan beribadah, Soedirman juga berpartisipasi dalam kelompok musik sekolah dan bergabung dengan tim sepak bola sebagai bek.
Kematian Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan keluarganya jatuh
miskin, namun ia tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya tanpa
membayar sampai ia lulus pada akhir tahun. Setelah kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan lebih banyak waktunya untuk mempelajari Sunnah dan doa.Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru praktek di Wirotomo.
MengajarSetelah lulus dari Wirotomo, Soedirman belajar selama satu tahun di Kweekschool (sekolah guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta, tetapi berhenti karena kekuarangan biaya. Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah, setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang sama, Soedirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik kaya bernama Raden Sastroatmojo. Setelah menikah, Soedirman tinggal di rumah mertuanya di Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah sendiri.Pasangan ini kemudian dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta empat orang putri; Didi Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum.Sebagai guru, Soedirman mengajarkan murid-muridnya pelajaran moral dengan menggunakan contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang tradisional.Salah seorang muridnya menyatakan bahwa Soedirman adalah guru yang adil dan sabar yang akan mencampurkan humor dan nasionalisme dalam pelajarannya; hal ini membuatnya populer di kalangan muridnya. Meskipun bergaji kecil, Soedirman tetap mengajar dengan giat. Akibatnya, dalam beberapa tahun Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah meskipun tidak memiliki ijazah guru.Sebagai hasilnya, gaji bulanannya meningkat empat kali lipat dari tiga gulden menjadi dua belas setengah gulden. Sebagai kepala sekolah, Soedirman mengerjakan berbagai tugas-tugas administrasi, termasuk mencari jalan tengah di antara guru yang berseteru. Seorang rekan kerjanya mengisahkan bahwa Soedirman adalah seorang pemimpin yang moderat dan demokratis. Ia juga aktif dalam kegiatan penggalangan dana, baik untuk kepentingan pembangunan sekolah ataupun untuk pembangunan lainnya. Selama waktu-waktu ini, Soedirman juga terus bergiat sebagai anggota Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Dalam kelompok ini, ia dikenal sebagai negosiator dan mediator yang lugas, berupaya untuk memecahkan masalah antar para anggota; ia juga berdakwah di masjid setempat. Soedirman terpilih sebagai Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Banyumas pada akhir 1937. Selama menjabat, ia memfasilitasi seluruh kegiatan dan pendidikan para anggota, baik dalam bidang agama ataupun sekuler. Ia kemudian mengikuti seluruh kegiatan Kelompok Pemuda di Jawa Tengah dan menghabiskan sebagian besar waktu luangnya dengan melakukan perjalanan dan berdakwah, dengan penekanan pada kesadaran diri.Alfiah juga aktif dalam kegiatan kelompok putri Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiyah. Masa pendudukan JepangJepang mulai menduduki Hindia pada awal 1942 setelah memenangkan beberapa pertempuran melawan pasukan Belanda dan tentara Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) yang dilatih oleh Belanda. Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Jenderal KNIL Hein ter Poorten menyerah. Peristiwa ini menimbulkan perubahan drastis dalam pemerintahan nusantara dan dan semakin memperburuk kualitas hidup warga non-Jepang di Hindia, banyak masyarakat pribumi yang menderita dan mengalami pelanggaran hak asasi manusia di tangan Jepang Di Cilacap, sekolah tempat Soedirman mengajar ditutup dan dialih fungsikan menjadi pos militer; ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menutup sekolah-sekolah swasta. Setelah Soedirman berhasil meyakinkan Jepang untuk membuka kembali sekolah, ia dan guru lainnya terpaksa menggunakan perlengkapan standar. Selama periode ini, Soedirman juga terlibat dalam beberapa organisasi sosial dan kemanusiaan, termasuk sebagai ketua Koperasi Bangsa Indonesia. Hal ini membuatnya semakin dihormati di kalangan masyarakat Cilacap. Pada awal 1944, setelah menjabat selama satu tahun sebagai perwakilan di dewan karesidenan yang dijalankan oleh Jepang (Syu Sangikai), Soedirman diminta untuk bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA). Jepang sendiri mendirikan PETA pada Oktober 1943 untuk membantu menghalau invasi Sekutu, dan berfokus dalam merekrut para pemuda yang belum "terkontaminasi" oleh pemerintah Belanda. Meskipun sempat ragu-ragu, terutama karena cedera lutut yang dialaminya ketika masih remaja, Soedirman akhirnya setuju untuk memulai pelatihan di Bogor, Jawa Barat. Sehubungan dengan posisinya di masyarakat, Soedirman dijadikan sebagai komandan (daidanco) dan dilatih bersama orang lain dengan pangkat yang sama. Di Bogor, ia dilatih oleh para perwira dan tentara Jepang, para taruna dipersenjatai dengan peralatan yang disita dari Belanda. Setelah empat bulan pelatihan, Soedirman ditempatkan di batalion Kroya, Banyumas, Jawa Tengah, tidak jauh dari Cilacap. Jabatan Soedirman sebagai komandan PETA berlalu tanpa banyak peristiwa hingga tanggal 21 April 1945, ketika tentara PETA di bawah komando Kusaeri mulai melancarkan pemberontakan terhadap Jepang. Diperintahkan untuk menghentikan pemberontakan tersebut, Soedirman setuju untuk melakukannya dengan syarat agar pemberontak PETA tidak dibunuh, dan lokasi persembunyian mereka tidak dimusnahkan; syarat ini diterima oleh komandan Jepang, dan Soedirman beserta pasukannya mulai mencari para pemberontak. Meskipun anak buah Kusaeri berhasil menembak komandan Jepang, Soedirman melalui pengeras suara mengumumkan bahwa mereka tidak akan dibunuh, dan para pemberontak pun mundur. Kusaeri menyerah pada tanggal 25 April.Peristiwa ini meningkatkan dukungan terhadap Soedirman di kalangan tentara Jepang, meskipun beberapa perwira tinggi Jepang menyatakan keprihatinannya atas dukungan Soedirman bagi kemerdekaan Indonesia. Soedirman dan anak buahnya kemudian dikirim ke sebuah kamp di Bogor dengan alasan akan dilatih; namun sebenarnya mereka dipekerjakan sebagai pekerja kasar dalam upaya untuk mencegah pemberontakan lebih lanjut, dan desas-desus mengatakan bahwa perwira PETA akan dibunuh. Revolusi NasionalPanglima besarSetelah berita tentang pengeboman Hiroshima dan Nagasaki mencapai Hindia pada awal Agustus 1945, yang kemudian diikuti oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus,kontrol Jepang sudah mulai melemah. Soedirman memimpin pelarian dari pusat penahanan di Bogor. Meskipun rekannya sesama tahanan ingin menyerang tentara Jepang, Soedirman menentang hal itu. Setelah memerintahkan yang lainnya untuk kembali ke kampung halamannya, Soedirman berangkat menuju Jakarta dan bertemu dengan Presiden Soekarno, yang memintanya untuk memimpin perlawanan terhadap pasukan Jepang di kota. Karena tidak terbiasa dengan lingkungan Jakarta, Soedirman menolaknya, ia malah menawarkan diri untuk memimpin pasukan di Kroya. Soedirman bergabung dengan pasukannya pada tanggal 19 Agustus 1945. Di saat yang bersamaan, pasukan Sekutu sedang dalam proses merebut kembali kepulauan Indonesia untuk Belanda, tentara Inggris pertama kali tiba pada tanggal 8 September 1945. Pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi perjuangan rakyat. Badan tersebut adalah Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit, dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada sejak zaman Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara PETA dan Heihō.Pada tanggal 18 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA dan Heihō. Tugas untuk menampung mantan anggota PETA dan Heihō ditangani oleh BPKKP.Pembentukan BKR merupakan perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan, yang diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945. BKR ini berfungsi sebagai organisasi kepolisian, terutama karena pemimpin politik saat itu yang berniat memanfaatkan diplomasi sebagai sarana penggalangan bantuan internasional terhadap negara baru, dan juga untuk memungkinan tentara Jepang melihatnya sebagai sebuah ancaman bersenjata sehingga mencegah kemunculan tentara Jepang yang masih ada di nusantara. Soedirman dan beberapa rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di Banyumas pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui bahwa batalion di sana telah dibubarkan. Dalam pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang, Saburo Tamura, dan Residen Banyumas, Iwashige, Soedirman dan Iskak Cokroadisuryo memaksa Jepang untuk menyerahkan diri dan memberikan senjata mereka, sementara kerumunan warga Indonesia bersenjata mengepung kamp Jepang. Sebagian besar senjata ini kemudian digunakan oleh unit BKR Soedirman, menjadikan unitnya sebagai salah satu unit dengan senjata terbaik di Indonesia; sisa senjata juga dibagikan kepada batalion lain. Sebagai negara yang baru merdeka dan belum memiliki militer yang professional, pada tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia). Sebagian besar personilnya adalah mantan tentara KNIL, sedangkan perwira tinggi berasal dari PETA dan Heihō. Dekrit mengangkat Soeprijadi sebagai Panglima Besar TKR, namun ia tidak muncul, dan kepala staff Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai pemimpin sementara. Pada bulan Oktober, pasukan Inggris, yang bertugas melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan tawanan perang Belanda, tiba di Semarang, dan kemudian bergerak menuju Magelang. Ketika Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda yang menjadi tawanan perang dan sepertinya sedang mempersiapkan sebuah pangkalan militer di Magelang, Soedirman –yang sekarang menjadi kolonel – mengirim beberapa pasukannya di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman untuk mengusir mereka; misi ini berhasil, dan tentara Eropa menarik diri dari Ambarawa, di tengah-tengah Magelang dan Semarang.Pada 20 Oktober, Soedirman membawahi Divisi V setelah Oerip membagi Pulau Jawa menjadi divisi militer yang berbeda. Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Soedirman terpilih sebagai pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga, Oerip mengumpulkan 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara; para komandan divisi Sumatera semuanya memilih Soedirman. Soedirman, yang saat itu berusia 29 tahun, terkejut atas hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Oerip, namun para peserta rapat tidak mengizinkannya. Oerip, yang telah kehilangan kendali dalam pertemuan bahkan sebelum pemungutan suara dimulai, merasa senang karena tidak lagi bertanggung jawab atas TKR. Soedirman tetap menunjuk Oerip sebagai kepala staff. Sesuai dengan jabatan barunya, Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal.Setelah pertemuan, Soedirman kembali ke Banyumas sembari menunggu persetujuan pemerintah dan mulai mengembangkan strategi mengenai bagaimana mengusir tentara Sekutu. Rakyat Indonesia khawatir bahwa Belanda, yang diboncengi oleh Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA), akan berupaya untuk merebut kembali nusantara. Tentara gabungan Belanda-Inggris telah mendarat di Jawa pada bulan September, dan pertempuran besar telah terjadi di Surabaya pada akhir Oktober dan awal November.Ketidakstabilan ini, serta keraguan Soekarno atas kualifikasi Soedirman menyebabkan terlambatnya pengangkatan Soedirman sebagai pemimpin TKR. Sambil menunggu pengangkatan, pada akhir November Soedirman memerintahkan Divisi V untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa, sekali lagi dikomandoi oleh Isdiman; kota itu dianggap penting secara strategis karena memiliki barak militer dan fasilitas pelatihan yang sudah ada sejak zaman penjajahan. Serangan ini dilumpuhkan oleh serangan udara dan tank-tank Sekutu, yang memaksa divisi untuk mundur, Isdiman sendiri tewas dalam pertempuran, terbunuh oleh pemberondong P-51 Mustang.Soedirman kemudian memimpin Divisi dalam serangan lain terhadap pasukan Sekutu; tentara Indonesia dipersenjatai dengan berbagai senjata, mulai dari bambu runcing dan katana sitaan sebagai senjata, sedangkan tentara Inggris dipersenjatai dengan peralatan modern. Soedirman memimpin di barisan depan sambil memegang sebuah katana. Sekutu, yang fasilitas serangan udaranya telah musnah saat tentara gerilya menyerang Lapangan Udara Kalibanteng di Semarang, berhasil dipukul mundur dan bersembunyi di Benteng Willem. Pada 12 Desember, Soedirman memimpin pengepungan empat hari, yang menyebabkan pasukan Sekutu mundur ke Semarang. Pertempuran Ambarawa membuat Soedirman lebih diperhatikan di tingkat nasional, dan membungkam bisik-bisik yang menyatakan bahwa ia tidak layak menjadi pemimpin TKR karena kurangnya pengalaman militer dan pekerjaannya sebelumnya adalah guru sekolah. Pada akhirnya, Soedirman dipilih karena kesetiaannya yang tidak diragukan, sementara kesetiaan Oerip kepada Belanda dipandang dengan penuh kecurigaan. Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945. Posisinya sebagai kepala Divisi V digantikan oleh Kolonel Sutiro, dan mulai berfokus pada masalah-masalah strategis.Hal yang dilakukannya antara lain dengan membentuk dewan penasihat, yang bertugas memberikan saran mengenai masalah-masalah politik dan militer.Oerip sendiri menangani masalah-masalah militer. Bersama-sama, Soedirman dan Oerip mampu mengurangi perbedaan dan rasa ketidakpercayaan yang tumbuh di antara mantan tentara KNIL dan PETA, meskipun beberapa tentara tidak bersedia tunduk kepada militer pusat, dan lebih memilih untuk mengikuti komandan batalion pilihan mereka. Pemerintah mengganti nama Angkatan Perang sebanyak dua kali pada Januari 1946, yang pertama adalah Tentara Keselamatan Rakjat, kemudian diganti lagi menjadi Tentara Repoeblik Indonesia (TRI). Pergantian nama ini diakhiri dengan membentuk secara resmi angkatan laut dan angkatan udara pada awal 1946. Sementara itu, pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta – sekarang di bawah kontrol Belanda – ke Yogyakarta pada bulan Januari; delegasi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir melakukan negosiasi dengan Belanda pada bulan April dan Mei terkait dengan pengakuan kedaulatan Indonesia, namun tidak berhasil. Pada tanggal 25 Mei, Soedirman dikukuhkan kembali sebagai panglima besar setelah reorganisasi dan perluasan militer. Dalam upacara pengangkatannya, Soedirman bersumpah untuk melindungi republik "sampai titik darah penghabisan." Menteri Pertahanan yang berhaluan kiri, Amir Sjarifuddin, memperoleh kekuasaan yang lebih besar setelah reorganisasi militer. Ia mulai mengumpulkan para tentara sosialis dan komunis di bawah kontrolnya, termasuk unit paramiliter (laskar) sayap kiri yang setia dan didanai oleh berbagai partai politik. Sjarifuddin melembagakan program pendidikan politik di tubuh angkatan perang, yang bertujuan untuk menyebarkan ideologi sayap kiri. Memanfaatkan militer sebagai alat manuvering politik tidak disetujui oleh Soedirman dan Oerip, yang pada saat itu disibukkan dengan penerapan perlakuan yang sama bagi tentara dari latar belakang militer berbeda. Namun, rumor yang beredar mengabarkan bahwa Soedirman sedang mempersiapkan sebuah kudeta; upaya kudeta tersebut terjadi pada awal Juli 1946, dan peran Soedirman, kalaupun ada, tidak dapat dipastikan Pada bulan Juli, Soedirman mengonfirmasi rumor ini melalui pidato yang disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI), menyatakan bahwa ia, seperti semua rakyat Indonesia, adalah abdi negara, dan jika dirinya ditawari jabatan presiden, ia akan menolaknya. Di kemudian hari, ia menyatakan bahwa militer tidak memiliki tempat dalam politik, begitu juga sebaliknya Negosiasi dengan BelandaSementara itu, Sjahrir terus berusaha bernegosiasi dengan pasukan Sekutu. Pada tanggal 7 Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, Wim Schermerhorn, sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan ini dimoderatori oleh diplomat Inggris Lord Killearn, dan juga melibatkan Soedirman. Ia berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kereta khusus pada tanggal 20 Oktober. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke Yogyakarta setelah tentara Belanda tidak mengijinkan dirinya dan anak buahnya memasuki Jakarta dengan bersenjata. Soedirman merasa bahwa perintah tersebut melanggar harga dirinya; Belanda kemudian meminta maaf, menyatakan bahwa peristiwa ini hanyalah kesalahpahaman. Soedirman berangkat dengan kereta lainnya pada akhir Oktober, dan tiba di Stasiun Gambir pada tanggal 1 November. Di Jakarta, ia disambut oleh kerumunan besar. Perundingan di Jakarta berakhir dengan perumusan Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November; perjanjian ini disahkan pada 25 Maret 1947, meskipun ditentang oleh para nasionalis Indonesia. Soedirman secara lantang juga menentang perjanjian tersebut karena ia tahu bahwa perjanjian itu akan merugikan kepentingan Indonesia, namun menganggap dirinya juga wajib mengikuti perintah. Pada awal 1947, kondisi sudah relatif damai setelah Perjanjian Linggarjati. Soedirman mulai berupaya untuk mengonsolidasikan TKR dengan berbagai laskar. Dalam upayanya ini, Soedirman mulai melaksanakan reorganisasi militer; kesepakatan baru bisa tercapai pada Mei 1947, dan pada 3 Juni 1947, Tentara Nasional Indonesia (TNI) diresmikan. TNI terdiri dari TKR dan tentara dari berbagai kelompok laskar, yang berhasil dirangkul Soedirman setelah mengetahui bahwa mereka dimanfaatkan oleh partai-partai politik.Namun, gencatan senjata yang berlangsung pasca Perjanjian Linggarjati tidak bertahan lama. Pada tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda –yang telah menduduki wilayah peninggalan Inggris selama penarikan mereka – melancarkan Agresi Militer, dan dengan cepat berhasil menguasai sebagian besar Jawa dan Sumatera. Meskipun demikian, pemerintahan pusat di Yogyakarta tetap tak tersentuh.Soedirman menyerukan kepada para tentara untuk melawan dengan menggunakan semboyan "Ibu Pertiwi memanggil!, dan kemudian menyampaikan beberapa pidato melalui RRI, namun upayanya ini gagal mendorong tentara untuk berperang melawan Belanda. Terlebih lagi, tentara Indonesia sedang tidak siap dan pertahanan mereka ditaklukkan dengan cepat. Setelah ditekan oleh PBB, yang memandang situasi di bekas Hindia dengan remeh, pada 29 Agustus 1947 Belanda menciptakan Garis Van Mook. Garis ini membagi wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Belanda dan Indonesia. Di sepanjang garis ini, gencatan senjata diberlakukan. Soedirman memanggil para gerilyawan Indonesia yang bersembunyi di wilayah taklukan Belanda, memerintahkan mereka agar kembali ke wilayah yang dikuasai Indonesia. Untuk tetap mengobarkan semangat mereka, ia menyebut penarikan ini dengan hijrah, merujuk pada perjalanan nabi Muhammad ke Madinah pada tahun 622 M, dan meyakinkan bahwa mereka akan kembali.Lebih dari 35.000 tentara meninggalkan Jawa bagian barat dan berangkat menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta dan kapal laut.Perbatasan ini diresmikan melalui Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948; penandatangan perjanjian ini di antaranya adalah Amir Sjarifuddin, yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri. Di saat yang bersamaan, Sjarifuddin mulai merasionalisasi TNI (Program Re-Ra) dengan memangkas jumlah pasukan. Pada saat itu, tentara reguler terdiri dari 350.000 personil, dan lebih dari 470.00 terdapat di laskar. Dengan adanya program ini, pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah pucuk pimpinan TNI menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan ke dalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara itu, Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar Angkatan Perang Mobil. Pucuk pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang beserta seluruh perwira militer dihapus, dan pangkatnya diturunkan satu tingkat. Presiden kemudian mengangkat Soerjadi Soerjadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan Kolonel T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil diangkat Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bertugas sebagai perencana taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan, sedangkan Staf Markas Besar Angkatan Perang Mobil adalah pelaksana taktis operasional. Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan angkatan perang. Pada tanggal 27 Februari 1948, presiden mengeluarkan Ketetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan ketetapan yang lama. Dalam ketetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Soerjadi Soerjadarma, sedangkan Markas Besar Pertempuran tetap di bawah Soedirman, ditambah wakil panglima yaitu Djenderal Major A.H. Nasution. Angkatan perang berada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU). Dalam penataannya, organisasi ini dibagi menjadi 2 bagian; penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Besar Angkatan Perang. Tak lama setelah itu, Sjafruddin digulingkan dalam mosi tidak percaya atas keterlibatannya dalam Perjanjian Renville, dan perdana menteri yang baru, Muhammad Hatta, berupaya untuk menerapkan program rasionalisasi. Hal ini menimbulkan perdebatan di antara kelompok yang pro dan anti-rasionalisasi. Soedirman menjadi tempat mengadu dan pendorong semangat bagi para tentara, termasuk sejumlah komandan senior yang menentang program rasionalisasi. Soedirman secara resmi dikembalikan ke posisinya pada tanggal 1 Juni 1948. Untuk menyelesaikan penataan organisasi ini, Soedirman membentuk sebuah panitia yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Djenderal Major Susaliy (mantan PETA dan laskar), Djenderal Major Suwardi (mantan KNIL) dan Djenderal Major A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI selesai pada akhir tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, Kolonel Hidajat Martaatmadja, menyelesaikan penataan organisasi tentara di Pulau Sumatera. Setelah program rasionalisasi mereda, Sjarifuddin mulai mengumpulkan tentara dari Partai Sosialis, Partai Komunis, dan anggota Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia untuk mengobarkan revolusi proletar di Madiun, Jawa Timur, yang berlangsung pada tanggal 18 September 1948. Soedirman, yang saat itu sedang sakit, mengirim Nasution untuk memadamkan revolusi; Soedirman juga mengirim dua perwira lainnya sebagai antena perdamaian sebelum serangan. Meskipun pemimpin revolusi, Muso, telah sepakat untuk berdamai, Nasution dan pasukannya berhasil menumpas pemberontakan pada 30 September. Soedirman mengunjungi Madiun tidak lama setelah pertempuran; ia mengatakan kepada istrinya bahwa ia tidak bisa tidur di sana karena pertumpahan darah yang terjadi. Pemberontakan di Madiun, dan ketidakstabilan politik yang sedang berlangsung, melemahkan kondisi kesehatan Soedirman. Pada tanggal 5 Oktober 1948, setelah perayaan hari jadi TNI ketiga, Soedirman pingsan. Setelah diperiksa oleh berbagai dokter, ia didiagnosis mengidap tuberkulosis (TBC). Pada akhir bulan, ia dibawa ke Rumah Sakit Umum Panti Rapih dan menjalani pengempesan paru-paru kanan, dengan harapan bahwa tindakan ini akan menghentikan penyebaran penyakit tersebut. Selama di rumah sakit, ia melimpahkan sebagian tugas kepada Nasution. Mereka berdua terus mendiskusikan rencana untuk berperang melawan Belanda, dan Soedirman secara rutin menerima laporan. Mereka sepakat bahwa perang gerilya, yang telah diterapkan di wilayah taklukan Belanda sejak bulan Mei, adalah perang yang paling cocok bagi kepentingan mereka; untuk mewujudkan hal ini, Soedirman mengeluarkan perintah umum pada 11 November, dan persiapannya ditangani oleh Nasution.Soedirman dipulangkan dari rumah sakit pada tanggal 28 November 1948. Meskipun ia terus mengeluarkan perintah, Soedirman baru kembali aktif bertugas pada tanggal 17 Desember. Seiring dengan semakin meningkatnya ketegangan antara tentara Indonesia dan Belanda, ia memerintahkan TNI untuk meningkatkan kewaspadaan;ia juga memerintahkan latihan militer skala besar dalam upayanya – yang gagal – untuk meyakinkan Belanda bahwa TNI terlalu kuat untuk diserang. Dua hari kemudian, diumumkan bahwa mereka tak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Pada 19 Desember, Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua untuk merebut ibu kota Yogyakarta. Pukul 07.00 Waktu Indonesia Barat, lapangan udara di Maguwo berhasil diambil alih oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Eekhout. Soedirman, yang telah menyadari serangan itu, memerintahkan stasiun RRI untuk menyiarkan pernyataan bahwa para tentara harus melawan karena mereka telah dilatih – sebagai gerilyawan.[120]
Perintah Kilat
No. 1/PB/D/48
Pidato radio Soedirman, dari Imran (1980)
Perang gerilyaSebelum memulai gerilya, Soedirman pertama-tama pergi ke rumah dinasnya dan mengumpulkan dokumen-dokumen penting, lalu membakarnya untuk mencegahnya jatuh ke tangan Belanda. Soedirman, bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai bergerak ke arah selatan menuju Kretek, Parangtritis, Bantul. Setibanya di sana, mereka disambut oleh bupati pada pukul 18.00. Selama di Kretek, Soedirman mengutus tentaranya yang menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan pengintaian, dan meminta istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan gerilya. Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan ke timur di sepanjang pantai selatan menuju Wonogiri.Sebelum Belanda menyerang, sudah diputuskan bahwa Soedirman akan mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih memiliki beberapa pangkalan militer. Sementara itu, Alfiah dan anak-anaknya diperintahkan untuk tinggal di Kraton.]Sadar bahwa Belanda sedang memburu mereka, pada tanggal 23 Desember Soedirman memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan ke Ponorogo. Di sana, mereka berhenti di rumah seorang ulama bernama Mahfuz; Mahfuz memberi sang jenderal sebuah tongkat untuk membantunya berjalan, meskipun Soedirman terus dibopong dengan menggunakan tandu di sepanjang perjalanan. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke timur. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar